Mereka Hidup Tanpa Tuhan, Pengakuan Para Ateis di Indonesia

Mereka Hidup Tanpa Tuhan, Pengakuan Para Ateis di Indonesia – Kala banyak orang di kota- kota besar Indonesia menempuh belengkokan balik ke religi untuk ketenangan pada masa serba tidak tentu, terdapat pula yang memilah jadi Ateis. Walaupun terdiskriminasi, mereka senantiasa hidup tanpa Tuhan.

outcampaign – MALAM MULAI TEMARAM sesudah Petang berangkat, kala seseorang wanita berbulu pendek merambah warung kopi di Gulungan Meter Plaza, Jakarta Selatan, Senin( 1/ 7/ 2019).

Mereka Hidup Tanpa Tuhan, Pengakuan Para Ateis di Indonesia

Mereka Hidup Tanpa Tuhan, Pengakuan Para Ateis di Indonesia

Tina, sedemikian itu wanita itu mau disapa, membenarkan diri selaku Ateis. Ia tidak meyakini kehadiran Tuhan. Menurutnya, institusi agama membuat tidak aman buat menempuh hidup.

“ Saya tidak lagi meyakini terdapatnya Tuhan semenjak 2 tahun terakhir. 10 tahun tadinya, saya jadi orang agnostik.”

Agnostisisme merupakan tindakan yang memperhitungkan seluruh suatu bertepatan dengan Tuhan tidak bisa jadi dapat dimengerti, hingga tidak butuh dipikirkan.

Tindakan hidup selaku Ateis jadi opsi terakhir bunda belia bersalin satu ini. Awal mulanya, beliau berasosiasi dengan komunitas Free- Thinker.

Baca juga : Atheis Dari Penjuru Dunia Berkumpul di Australia Untuk Konvensi Internasional

Free- Thinker dengan cara biasa merupakan banyak orang yang berasumsi leluasa ataupun bebas yang memercayakan kerasionalan, alhasil tidak membenarkan daulat apa juga. Free- Thinker menyangkal ataupun paling tidak berlagak skeptis kepada ajaran religi.

“ Dalam komunitas Free- Thinker itu terdapat beraneka ragam orang serta tindakan. Terdapat yang Ateis, terdapat yang teis( yakin Tuhan), agnostik, berkeyakinan tetapi berimbang, serta serupanya. Kita senantiasa bertukar pikiran mengenai seluruh perihal dengan cara leluasa,” tutur Tina.

Komunitas itu meminta seluruh badan wajib orang yang beranggapan terbuka. Tina dapat masuk komunitas itu sebab dibawa sahabat.

Tetapi beliau tidak dapat mengatakan julukan komunitas Free- Thinker yang dimasukinya untuk alibi keamanan.

Tina terlahir dari kandungan seseorang bunda Orang islam di Kota Apes, Jawa Timur. Ayahnya berlatar keluarga yang menggenggam adat- istiadat Nahdatul Malim.

Semenjak SMA, Tina mengatakan menggemari membaca banyak novel, paling utama metafisika serta pandangan hidup tercantum pertanyaan ateisme serta agnostisisme.

Bersumber pada novel yang beliau baca serta bertukar pikiran, Tina mulai mempersoalkan serta mempersoalkan daulat institusi keimanan, tetapi senantiasa meyakini kehadiran Tuhan.

Semenjak berpelajaran sampai berkuliah, beliau pula membenarkan berhijab cocok syariat. Ia apalagi luang menjajaki badan amatan yang kencang.

Bergulat dengan beraneka ragam perkara hidup yang sering- kali rumit, Tina sempat meyakini agama merupakan kunci buat memperoleh ketenangan.

Tetapi lama kelamaan, Tina membenarkan tidak lagi merasa aman. Mulailah Tina mencari badan lain yang bebas dari perihal keimanan, sampai kesimpulannya berjumpa kawan- kawannya yang menjajaki komunitas Free- Thinker.

“ Saya merasa banyak antara pada agama yang tidak dapat dijawab dengan cara ide segar. Saya pula merasa mereka itu semacam membagikan impian ilegal. Ataupun sejenis kalian disuruh yakin pada suatu yang tidak terdapat,” tutur Tina.

Tina memeragakan, dirinya tidak dapat menciptakan balasan terdapat orang yang menjual air minum sebab dikira memunyai kegaiban serta serupanya.

Misalnya lagi, tutur Tina, aplikasi permaduan ataupun beristri lebih dari satu yang baginya tidak masuk akal serta mudarat wanita.

Walaupun terkini 2 tahun terakhir betul- betul jadi Ateis, Tina membenarkan telah semenjak lama tidak melakukan aktivitas ritual agamanya.

Kekinian, Tina senantiasa menjajaki aktivitas keimanan tiap tahun, tetapi beliau memosisikannya hingga adat ataupun menempuh adat- istiadat.

“ Jadi saya melaksanakannya selaku aktivitas sosial saja, tiap tahun sedang turut aktivitas agama selaku adat- istiadat keluarga,” ucap ia.

Tina mengatakan, keluarga besarnya tidak ketahui kekinian beliau telah tidak lagi berkeyakinan serta meyakini Tuhan.

Orang yang mengenali dirinya Ateis merupakan mantan suami. Tidak hanya mantan suami, putra semata wayangnya pula ketahui, tetapi baru- baru ini saja.

“ Keluarga enggak ketahui jika saya Ateis, sebab keluargaku sendiri berlainan kota, kita tidak sering berjumpa. Keluargaku semenjak dahulu pula enggak sempat mendesakkan wajib menjajaki peribadahan. Hanya durasi saya amat berlebihan, mempersoalkan agama serta Tuhan, mereka enggak dapat dapat,” tutur ia.

Walaupun dirinya Ateis, Tina tidak sempat mengajak buah hatinya buat turut tidak berkeyakinan. Buah hatinya yang telah bersandar di kursi kategori 3 SD pula lebih banyak berlatih agama Islam, bagus di sekolah ataupun kala bersamanya.

Satu perihal yang diajarkan Tina pada buah hatinya, ialah supaya si buah batin dapat berasumsi logis, mempertajam akal berasumsi kritis, serta berlagak terbuka kepada seluruh perihal dan perbandingan.

“ Jika sesuatu dikala anakku mau jadi apa saja, tercantum pertanyaan agama kebatinan, itu tergantung ia.”

Perilakunya yang semacam itu berakar pada pengakuan Tina kalau tidak terdapat desakan dikala dirinya memilah jadi Ateis.

“ Saya memilah jadi Ateis atas pemahaman serta kerasionalan,” tutur Tina.

Komunitas Ateis tempat Tina kekinian kerap terkumpul juga tidaklah badan yang tertata serta hirarkis.

Mereka cuma berkas banyak orang yang berasumsi terbuka serta leluasa mangulas ataupun mempersoalkan daulat, tercantum pertanyaan keimanan.

Beliau serta rekan- rekan sekomunitasnya pula berbicara dengan banyak orang Ateis di luar negara, tetapi tidak terdapat aliansi dengan cara organisasional.

Dalam komunitasnya, bagus dikala kopi bumi ataupun lewat alat daring, Tina serta yang lain cuma silih memberi erang kesah.

Misalnya, kala terdapat yang terkini jadi Ateis serta bermasalah dengan keluarga, mereka silih menolong membagikan pemecahan.

Komunitas yang diiringi Tina pula amat loyal teman. Apabila terdapat di antara badan yang bermasalah ataupun sakit, mereka silih pundak membahu menolong.

“ Jadi lebih ke mensupport satu serupa lain, yang lebih masuk ide, ataupun membuat kegiatan pertemuan paling utama pertanyaan bidang usaha. Dahulu sempat dicoba dialog teratur mingguan, tetapi telah tidak lagi jalur,” tutur ia.

Tina menyangkal pemikiran banyak orang yang mengatakan Ateis merupakan tidak beradab.

“ Menurutku, orang Ateis itu lebih memiliki empati. Kita dari bermacam berbagai pekerjaan semacam dokter, guru, wiraswasta, macam- macam, apakah tidak beradab? Belum pasti,” tutur Tina.

Baginya, terus menjadi banyak orang Indonesia yang jadi Ateis serta terfokus di kota- kota besar, yang relatif gampang mengakses seluruh wawasan terkini.

” Terdapat di Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Balikpapan, Padang, Area, Aceh, Jambi, Palembang, serta pula Manado.”

Tina membenarkan jadi Ateis sedang tabu di Indonesia. Terlebih semenjak tahun 2017, ketika gelombang kelakuan serta tindakan intoleran terus menjadi pasang, kalangan Ateis semacam Tina diliputi rasa kebingungan.

Karenanya, Tina serta kawan- kawannya kekinian terus menjadi tertutup serta berhati- hati menyambut orang terkini buat berasosiasi dalam tim mereka.

“ Kita gelisah serta sebab itu, kita betul- betul hati- hati berekspresi di hadapan khalayak, tercantum di bumi maya.”

Shinte Galeshka merupakan seseorang agnostik. Ia bermukim di Jakarta. Beliau mengatakan, agnostisisme berlainan dengan ateisme.

Inti mengerti yang beliau memeluk merupakan, orang tidak memunyai kapasitas memandang kehadiran entitas supernatural yang bernama Tuhan, hantu, makhluk halus serta yang lain.

Seseorang agnostik cuma melandaskan pada apa yang beliau ketahui, berlainan dengan Ateis yang tidak beriktikad terdapatnya Tuhan.

Shinte terlahir serta besar dari keluarga berkeyakinan Kristen. Beliau lalu berprinsip agnostis sebab merasa tidak puas kepada dogma- dogma Kristen.

Tetapi saat ini, dirinya membenarkan telah tidak lagi hirau kepada kegelisahannya mengenai anutan agama serta ketuhanan.

“ Telah tidak lagi permasalahan untuk aku, sebab praktiknya, terdapat pula orang berkeyakinan tetapi dapat gampang menewaskan orang lain atas julukan Tuhannya. Terdapat pula orang yang berkeyakinan serta melakukan bagus. Hingga, terdapat pula orang Ateis ataupun agnostik yang semacam itu. Pertanyaan Tuhan? Aku membenarkan tidak ketahui,” tutur Shinte.

Sebab tidak lagi memerhatikan pertanyaan perihal yang Keilahian, Shinte senantiasa kerap menjajaki aktivitas di gereja bersama keluarganya. Tetapi seluruh itu beliau jalani bukan tertuju buat beribadah, melainan hingga adat- istiadat ataupun adat.

“ Untuk aku, gimana juga pula, orang yang yakin Tuhan ataupun tidak, memunyai ekspedisi kebatinan individual. Jika aku sih melihatnya sedemikian itu. Aku telah hingga pada titik di mana hanya merasa, oh aku tidak memiliki kapasitas,” ucap ia.

Ahli Ilmu Pc Universitas Gunadarma ini membenarkan, dapat berprinsip agnostik lewat pembelajarannya sendiri. Paling utama dari membaca novel, kegemaran yang beliau lakoni semenjak kategori 5 SD sampai saat ini, dikala berumur 30 tahun.

Bermacam novel beliau baca, mulai berjudul politik, sosial, adat, dogma sampai metafisika. Tetapi, telah 4 tahun belum lama beliau tidak sering baca novel serta tidak sering mempertimbangkan pertanyaan kebatinan.

Shinte kekinian lebih banyak berlatih dari aplikasi selaku orang yang aktif berorganisasi membela golongan kecil.

Untuk ia, ilmu serta wawasan tidak cuma dari novel, tetapi dari suasana aktual masyarkat.

“ Nah, sering- kali, statment dari novel wajib kita balikkan lagi ke realitas, serta kebalikannya, dari realitas berputar ke novel, tercantum pertanyaan keyakinan ketuhanan,” cakap Shinte.

Bagi ia, banyak orang agnostik semacam dirinya tidak berorganisasi. Andaikan terdapat, hanya komunitas yang tidak tertata.

Tetapi, banyak orang agnostik serta Ateis lebih banyak berhubungan dengan cara daring, lewat jejaring alat sosial ataupun aplikasi catatan pendek.

“ Pertanyaan kebatinan, untuk kita merupakan perihal individu. Jadi, sangat aku dengan sebagian sahabat yang agnostik rumpi lewat alat sosial,” tutur Shinte.

Sedang Terdiskriminasi

Tantowi Anwari, Manager Sindikat Wartawan Buat Keanekaan( Adem) mengatakan, banyak orang Ateis serta agnostik di Indonesia sedang terdiskriminasi.

Kalangan Ateis ataupun agnostik di Indonesia tidak dapat leluasa mengekspresikan agama serta kepercayaannya, terlebih mangulas hal agama serta Tuhan.

Apalagi, sebagian di antara mereka hadapi persekusi, juga dipidana. Itu semacam permasalahan PNS bernama Alexander Aan di Sumatera Barat tahun 2012.

Aan dipidana sampai mendekam di bui cuma sebab menulis pada akun Facebook mengenai‘ Tuhan itu tidak terdapat’.

Si PNS dijerat Hukum Data serta Bisnis Elektronik, paling utama mengenai penodaan agama.

Setelah itu pada Juli 2017, perihal yang serupa pula dirasakan dokter Otto. Beliau dipenjara sebab menulis status yang dikira menodakan agama dengan dijerat UU ITE.

“ Tidak gampang untuk mereka jika identitasnya dikenal khalayak. Spesialnya pertanyaan bukti diri mereka yang tidak berkeyakinan,” tutur Tantowi.

Thowik, sedemikian itu beliau bersahabat disapa menarangkan, komunitas Ateis serta agnostik aktif melaksanakan bimbingan kepada warga buat melawan stigma, salah satunya dengan cara daring.

Semacam seseorang Ateis berkebangsaan Pakistan yang menulis novel serta telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bertajuk“ Si Orang islam Ateis”.

Lewat novel itu, beliau berkata, orang yang tidak berkeyakinan wajib diperlakukan serupa dengan masyarakat yang lain oleh negeri.

Adem, tutur Thowik, amat menyesalkan aplikasi persekusi ataupun kriminalisasi kepada orang Ateis sebab mempersoalkan agama serta tidak yakin Tuhan.

Sementara itu, Thowik bersaksi, komunitas Ateis di Indonesia lumayan banyak menolong banyak orang yang terdiskriminasi oleh hukum.

Tidak cuma menolong sesama Ateis, tetapi pula golongan minoritas lain semacam kalangan spiritualis di Banten yang dikriminalisasi sebab dikira menyimpang.

Diperkirakan 10 Ribu Orang

Pertanyaan maraknya permasalahan kriminalisasi kepada Ateis di Indonesia dalam sebagian tahun terakhir, Ketua Studi Sebanding Institute, Ismail Hasani memperhitungkan terjalin salah biasa banyak orang pertanyaan hukum nasional.

Beliau menerangkan, ateisme serta agnostisisme tidak diatur dalam produk hukum positif Indonesia. Karenanya, orang yang menganut serta beriktikad ateisme ataupun agnostisisme tidak dapat diadili dengan cara hukum.

Pemidanaan kepada orang Ateis di Indonesia, semacam Aan di Sumbar serta dokter Otto di Balikpapan juga bukan sebab agama mereka, melainkan dikriminalisasi melalui pasal- pasal penodaan agama UU ITE.

“ Permasalahan Aan, ia dipidana bukan statusnya selaku Ateis, tetapi independensi berekspresinya dipasung dengan kejahatan melalui UU ITE,” jelas Ismail.

Pertanyaan jumlah populasi Ateis ataupun agnostik di Indonesia, belum terdapat nilai tentu. Apalagi penguasa sendiri tidak mempunyai informasi itu.

Tetapi, Ismail menghargai jumlah Ateis serta agnostik di Indonesia terhitung banyak buat dimensi golongan minoritas, ialah lebih dari 10. 000 orang.

“ Sesungguhnya tidak terdapat nilai tentu, hingga saat ini belum terdapat yang melaksanakan survey pertanyaan itu. Angkanya bagi aku 10. 000 hingga 15. 000 orang terdapat, itu juga dari jumlah komunitas- komunitas yang berbaur,” ucapnya.

Berlawanan dengan Pancasila?

Ismail mengatakan, beberapa golongan memperhitungkan Ateis serta agnostik berlawanan dengan pandangan hidup negeri, ialah Pancasila. Karena, sila awal tercatat merupakan Ketuhanan yang Maha Satu.

Tetapi, bagi Ismail, itu merupakan artian politis. Ia memperhitungkan Ateis itu tidak melanggar hukum di Indonesia.

Dengan cara teoritik, asumsi tiap masyarakat Indonesia wajib berkeyakinan merupakan hasil pihak- pihak yang memaknakan sila- sila dalam Pancasila dengan cara hirarkis.

Dalam artian golongan semacam itu, tiap masyarakat Indonesia wajib berlagak serupa benar dengan kelima sila serta silih terpaut nama lain tidak dapat dipisah- pisahkan.

“ Penerapan Pancasila dengan cara hirarkis ataupun tidak, merupakan artian politik. Jika aku memperhitungkan, seluruh sila Pancasila itu sebanding, tidak terdapat yang wajib didahulukan. Maksudnya, masyarakat tidak wajib senantiasa merujuk pada sila awal.”

Terpaut maraknya aksi- aksi serta tindakan intoleransi di Indonesia, Ismail menilainya sarat kebutuhan politik.

Baginya, pengusung politik intoleran terencana meningkatkan aksi- aksi buat memahami ruang khalayak.

“ Apa juga senantiasa mereka pertentangkan dengan cara diametris, untuk buat memahami ruang khalayak,” erang Ismail.

Telah Terdapat Semenjak Lama

Ketua Administrator Indikator, Nanang Sunandar mengatakan, Ateis selaku keyakinan telah terdapat di Indonesia semenjak masa dini kebebasan.

Apalagi Kepala negara awal RI Soekarno sempat mengatakan dengan cara golongan Ateis dalam suatu pidatonya. Karenanya, semenjak dahulu, golongan Ateis hidup nyaman di Indonesia.

“ Ateis selaku suatu keyakinan, sesungguhnya telah lama terdapat di Indonesia. Apalagi saat sebelum kebebasan, jadi Ateis di Indonesia jauh lebih nyaman dari saat ini,” tutur ia.

Bersumber pada survey Indikator, populasi Ateis di Indonesia pada 2004 dekat 0, 67 persen. Persentase itu nampak kecil.

Tetapi, jika diperbandingkan dengan jumlah masyarakat Indonesia, nilai itu lumayan penting buat suatu golongan minoritas.

“ Jika diamati dari jumlah masyarakat Indonesia, nilai 0, 67 persen itu penting dibanding dengan golongan minoritas lain, semacam Kejawen, Sunda Wiwitan serta serupanya. Jadi memanglah berarti, letaknya selaku masyarakat negeri dalam kondisi Indonesia dengan seluruh haknya,” imbuh ia.

Nanang melawan asumsi orang banyak yang memandang Ateis tidak beradab. Baginya banyak Ateis yang bagus, walaupun tidak menutup mungkin terdapat pula yang kejam.

“ Dimensi akhlak orang Ateis merupakan rasionalitasnya. Yang aku tahu, banyak di antara mereka orang bagus,” ucapnya.

Ia meningkatkan, orang Ateis sedang hadapi pembedaan oleh negeri. Perihal itu nampak dari regulasi yang terdapat, semacam buat jadi seseorang administratur negeri wajib disumpah.

“ Banyak regulasi yang membatasi seseorang Ateis di Indonesia. Semacam dalam ikrar kedudukan, terdapat perkata‘ untuk Tuhan’, itu nyata eksklusif untuk mereka. Karena orang Ateis tidak hendak dapat jadi administratur khalayak,” ucap ia.

Bagi ia, kewajiban negeri dalam menjamin hak masyarakat, wajib bertumpu pada prinsip kesamarataan. Negeri tidak bisa mendesakkan kebijaksanaan yang merenggut hak masyarakat yang lain.

“ Jadi Pancasila serta ateisme tidak sepatutnya diamati selaku perihal yang berlawanan,” tutur juru bahasa novel“ Si Orang islam Ateis” buatan Ali Arisvi—seorang mantan orang islam berdarah Pakistan ini.

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)