Ketika Hak Berkeyakinan Berarti Hak untuk Tidak Percaya
Uncategorized

Ketika Hak Berkeyakinan Berarti Hak untuk Tidak Percaya

Dalam diskursus publik mengenai kebebasan beragama, sering kali luput satu aspek penting: hak untuk tidak beragama. Di banyak negara, termasuk Indonesia, jaminan kebebasan berkeyakinan kerap dipahami secara sempit, seolah hanya berlaku bagi mereka yang memilih satu dari sekian agama yang diakui negara. Padahal, esensi hak tersebut adalah kebebasan untuk memilih—termasuk memilih untuk tidak percaya pada entitas adikodrati apa pun.

Kebebasan Berkeyakinan dan Konstitusi

Secara hukum, kebebasan berkeyakinan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh berbagai instrumen internasional, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 18), dan juga diakui dalam konstitusi negara kita. Namun dalam praktik, ateisme dan agnostisisme sering tidak memperoleh tempat yang setara dalam diskursus publik maupun kebijakan negara.

Kebebasan berkeyakinan bukanlah hak eksklusif penganut agama, tetapi hak universal setiap individu, termasuk mereka yang memutuskan untuk tidak memeluk agama sama sekali. Ini mencakup hak untuk berpikir kritis, meragukan, meninggalkan kepercayaan lama, dan menyuarakan pandangan yang tidak populer—tanpa harus takut akan stigma sosial atau ancaman hukum.

Stigma terhadap Ateis Masih Nyata

Meski tidak secara eksplisit dilarang, identitas sebagai ateis masih dianggap tabu, bahkan berbahaya di mata sebagian besar masyarakat. Di beberapa negara, pernyataan terbuka tentang ketidakpercayaan bisa berujung pada diskriminasi, kekerasan, atau bahkan kriminalisasi. Di Indonesia sendiri, kasus-kasus seperti yang dialami oleh Alexander Aan menunjukkan betapa sulitnya bagi seorang non-teis untuk mendapat pengakuan sebagai warga negara yang setara.

Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan komunitas ateis bukan hanya soal teologi, melainkan soal hak sipil dan pengakuan kemanusiaan. Identitas tanpa-agama tidak boleh menjadi alasan pembatasan hak pendidikan, pekerjaan, atau kebebasan berpendapat.

Hak untuk Tidak Percaya Adalah Bagian dari Demokrasi

Salah satu pilar demokrasi adalah pluralisme: kemampuan berbagai pandangan, ideologi, dan kepercayaan hidup berdampingan dalam satu masyarakat. Tanpa pengakuan atas eksistensi ateis, pluralisme tersebut menjadi timpang.

Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang menghargai perbedaan, bukan yang memaksakan keseragaman keyakinan. Dalam konteks ini, hak untuk tidak percaya adalah wujud keberagaman yang perlu dilindungi, bukan dilenyapkan.

Ateis bukan musuh dari moralitas. Justru, banyak ateis menjalani hidup dengan prinsip-prinsip etik yang kuat—berdasarkan empati, tanggung jawab sosial, dan komitmen terhadap kebenaran—tanpa harus mendasarkan pilihan hidup pada kitab suci atau wahyu.

Mengubah Narasi Publik Melalui Edukasi dan Advokasi

Salah satu tantangan utama adalah mengubah narasi publik yang sering kali menyamakan ateisme dengan nihilisme, amoralitas, atau pemberontakan. Edukasi publik yang menyeluruh sangat dibutuhkan agar masyarakat memahami bahwa tidak semua nilai kebaikan bersumber dari agama.

Komunitas ateis dan sekuler bisa mengambil peran aktif dalam menyuarakan hak-haknya, baik melalui tulisan, diskusi terbuka, maupun partisipasi dalam kebijakan publik. Keterlibatan dalam ruang sosial-politik menunjukkan bahwa ateis adalah bagian dari masyarakat, bukan ancaman bagi tatanannya.

Kebebasan berkeyakinan berarti kebebasan untuk percaya dan juga untuk tidak percaya. Komunitas ateis berhak mendapatkan pengakuan atas identitasnya, dihormati dalam pilihan hidupnya, dan dilindungi dalam menyuarakan pandangannya.

Perjuangan untuk hak ini bukan sekadar pertarungan konsep, tetapi soal keadilan, kesetaraan, dan martabat manusia. Dan dalam masyarakat demokratis, tidak boleh ada satu pun warga negara yang tertinggal—hanya karena ia memilih untuk berpikir sendiri.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *