Prinsip Hidup Dan Pemikiran Seorang Atheis

Prinsip Hidup Dan Pemikiran Seorang Atheis – Banyak Atheis yakin kalau agama mereka merupakan produk dari pandangan logis. Mereka memakai alasan semacam” Aku tidak yakin pada Tuhan, aku yakin pada ilmu” buat menarangkan fakta serta akal sehat, dari agama serta ajaran transendental mistis, yang jadi dasar pandangan mereka.

Prinsip Hidup Dan Pemikiran Seorang AtheisPrinsip Hidup Dan Pemikiran Seorang Atheis

Outcampaign.org – Namun, hanya karena Anda percaya pada penelitian ilmiah berbasis bukti (yang membutuhkan inspeksi dan prosedur yang ketat) tidak berarti cara berpikir Anda sama.

Kala Kamu menanya pada Atheis kenapa mereka jadi kafir, mereka kerap menggambarkan momen Eureka kala mereka mengetahui kalau agama tidak masuk akal, dikutip dari kompas.com.

Baca juga : Artis Hollywood Ini Memilih Hidup Sebagai Seorang Atheis

Anehnya, mungkin banyak orang beragama memiliki pandangan serupa tentang ateisme. Ketika para teolog dan pengikut agama lain berspekulasi bahwa ateis pasti sekelompok orang yang menyedihkan yang kehilangan kepuasan filosofis, etis, mitologis, dan estetika yang dimiliki oleh orang-orang beragama, mereka jatuh ke dalam dunia rasionalitas yang menyedihkan.

Sains ateisme

Namun nyatanya, sains semakin menunjukkan bahwa ateis lebih rasional daripada ateis. Nyatanya, ateis mudah jatuh ke dalam bentuk lain dari “pemikiran kelompok” dari kognisi irasional seperti yang lainnya. Misalnya, orang yang religius dan non-religius dapat mengikuti orang karismatik tanpa mempertanyakannya. Seperti yang telah dieksplorasi oleh psikolog sosial Jonathan Haidt, pikiran kita cenderung lebih menyukai perasaan akan kenyataan daripada kenyataan itu sendiri.

Bahkan kepercayaan seorang ateis tidak ada hubungannya dengan penyelidikan rasional yang dipikirkan oleh seorang ateis. Misalnya, kita sekarang tahu bahwa anak-anak non-religius dari orang tua yang religius melepaskan keyakinan mereka karena alasan yang tidak terkait dengan pemikiran intelektual. Penelitian kognitif baru-baru ini menunjukkan bahwa faktor penentu adalah belajar dari apa yang dilakukan orang tua, bukan dari apa yang mereka katakan.

Oleh karena itu, jika orang tua mengatakan bahwa mereka adalah orang Kristen, tetapi mereka telah menghilangkan kebiasaan melakukan hal-hal penting, seperti berdoa atau pergi ke gereja, maka anak-anak mereka tidak percaya bahwa agama itu bermakna.

Ini sangat masuk akal, tetapi anak-anak tidak akan menghadapinya pada tingkat kognitif. Sepanjang sejarah evolusi kita, manusia sering kekurangan waktu untuk meneliti dan mengukur bukti – yang penting untuk membuat penilaian dengan cepat. Artinya, anak hanya bisa menyerap informasi penting sampai batas tertentu saja, dalam hal ini keyakinan agama sepertinya kurang penting dari yang dikatakan orang tua.

Bahkan anak-anak yang lebih tua dan remaja yang benar-benar memikirkan topik-topik agama mungkin tidak dapat berpikir mandiri seperti mereka. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa orang tua dari ateis (dan lainnya) mengkomunikasikan keyakinan mereka kepada anak-anak mereka dengan cara yang sama seperti orang tua yang religius melalui budaya dan perselisihan.

Beberapa orang tua berpikir bahwa anak-anak harus memilih keyakinannya sendiri, tetapi yang mereka lakukan hanyalah menyampaikan cara berpikir tertentu tentang agama, seperti berpikir bahwa agama adalah masalah pilihan, bukan kebenaran suci. Tak heran, hampir semua anak Inggris (95%) akhirnya “memilih” menjadi ateis.

Sains dan iman

Tapi apakah ateis lebih cenderung bersikeras pada sains daripada orang yang percaya pada agama? Banyak sistem kepercayaan yang kompatibel dengan pengetahuan ilmiah sampai batas tertentu. Beberapa sistem kepercayaan sangat kritis terhadap sains, percaya bahwa itu terlalu berpengaruh pada kehidupan kita, sementara sistem kepercayaan lain sangat peduli dengan penelitian dan respons terhadap pengetahuan ilmiah.

Namun, apakah Anda percaya pada agama atau tidak, perbedaan ini tidak dapat tercermin dengan baik. Misalnya, beberapa tradisi Protestan menganggap pemikiran rasional atau ilmiah sebagai inti dari kehidupan religius mereka. Pada saat yang sama, generasi baru ateis postmodern menekankan keterbatasan pengetahuan manusia dan percaya bahwa sains sangat terbatas bahkan bermasalah, terutama dalam masalah eksistensial dan etika. Misalnya, para ateis ini mungkin mengikuti pemikir seperti Charles Baudelaire, yang percaya bahwa hanya dalam ekspresi artistiklah pengetahuan sejati dapat ditemukan.

Meskipun banyak ateis suka menganggap diri mereka sebagai ilmu profesional, sains dan teknologi sendiri terkadang menjadi dasar pemikiran atau keyakinan religius, atau dasar yang sangat mirip dengan pemikiran atau keyakinan religius. Sebagai contoh, kebangkitan gerakan transhumanist didasarkan pada keyakinan bahwa manusia dapat dan harus menggunakan teknologi untuk mengatasi keadaan alam dan keterbatasan saat ini, inilah cara inovasi teknologi mempromosikan banyak kesamaan dengan keyakinan agama.

Bahkan bagi para ateis yang skeptis terhadap transhumanisme, peran sains bukan hanya masalah nalar, melainkan dapat memberikan kepuasan filosofis, etis, mitologis, dan estetika yang diberikan agama bagi para pengikutnya.

Sebagai contoh, ilmu tentang dunia biologi bukan hanya sekedar topik keingintahuan, bagi sebagian ateis memberikan makna dan kenyamanan, seperti kepercayaan pada tuhan yang dianugerahkan kepada orang yang beriman. Para psikolog menunjukkan bahwa dalam menghadapi stres dan kecemasan akan kelangsungan hidup, kepercayaan pada sains akan meningkat, sama seperti pengaruh keyakinan agama terhadap penganut agama yang meningkat dalam situasi ini.

Jelas, gagasan menjadi seorang ateis karena alasan rasional tampaknya mulai menjadi tidak masuk akal. Kabar baiknya adalah rasionalitas sangat dibesar-besarkan. Kecerdasan manusia lebih mengandalkan pemikiran rasional. Seperti yang dikatakan Haidt tentang “pemikiran keadilan”, kita sebenarnya “dirancang” untuk mempraktikkan “moralitas”, bahkan jika kita tidak melakukannya dengan cara berpikir rasional kita.

Keahlian buat membuat ketetapan kilat, menjajaki ambisi kita serta berperan dengan cara impulsif pula ialah mutu berarti untuk orang serta kunci keberhasilan kita.

Untungnya, orang sudah menciptakan ilmu, yang berlainan dengan pandangan kita, logis serta berplatform fakta. Kala kita menginginkan fakta yang betul, sepanjang subjeknya dapat dicoba, ilmu dapat menyediakannya.

Yang terutama, fakta objektif mengarah tidak mensupport pemikiran kalau ateisme merupakan mengenai pandangan logis serta teisme mengenai realisasi kehadiran. Faktanya, orang tidak menggemari ilmu. Tidak satu juga dari kita yang irasional, pula bukan pangkal arti serta kenyamanan eksistensial.

 

Sains Ateis Versus Sains IslamSains Ateis Versus Sains Islam

Suatu ketika, Napoleon bertanya kepada Laplace (lahir 1827), yang merupakan ahli matematika Prancis yang hebat, siapa penulis alam semesta ajaib ini. Laplace menjawab: “Saya tidak butuh asumsi itu”.

Bagi Laplace, keberadaan Tuhan tidak penting bagi ilmu pengetahuan, karena dengan memahami hukum alam, semua pertanyaan bisa terjawab.

Balasan Laplace dapat dibilang menggantikan pemikiran akademikus Barat mengenai ilmu serta agama. Semenjak Copernicus mengemukakan buah pikiran” buah pikiran esensial” pada era ke- 16, ilmu modern lambat- laun menghilangkan agama agama. Semenjak itu, menafsirkan ilmu dengan Tuhan serta agama dikira tidak masuk ide serta percuma. Seluruh keberadaan serta gairah yang terjalin di alam cuma berasal dari hukum alam.

Inilah yang dibilang Hawking dalam The Grand Design( 2010):” Buatan mereka tidak membutuhkan aduk tangan sebagian insan transendental mistis ataupun Tuhan. Kebalikannya, bermacam alam sarwa ini dengan cara natural dibuat oleh hukum fisika.”( Tipe Invensi ini tidak menginginkan daya transendental mistis ataupun aduk tangan Tuhan. Alam sarwa ini dengan cara natural timbul dari hukum fisika.

 

Sebagaimana kita ketahui bersama, pengajaran sains di Indonesia biasanya berorientasi pada negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Eropa. Hal ini terjadi karena negara-negara tersebut dianggap sebagai negara yang maju dalam iptek. Petunjuk sederhana dapat dilihat pada kurikulum sains yang digunakan di sekolah-sekolah di Indonesia. Struktur materi dan isinya sebenarnya disalin dan ditempel dari negara-negara Barat.

Misalnya dalam bidang fisika, buku teks sains sarat dengan teori-teori ilmuwan Barat, seperti Copernicus, Gauss, Descartes, Newton, Planck, Snells, Maxwell, Pascal, Celsius, Boyle, Kiel Hoff, De Broglie, Einstein dan masih banyak lagi. Situasi serupa terjadi dalam disiplin ilmu lain, seperti biologi, kimia, dan astronomi.

Di dunia Barat, mengasosiasikan sains dengan Tuhan dan agama dianggap sebagai “Haram”. Ini karena agama tidak dianggap sebagai sumber ilmu. Agama dianggap sekumpulan dogma tidak ilmiah karena tidak empiris dan rasional. Agama bukanlah sains. Paradigma ini juga banyak menambah konsep pendidikan sains.

Ironisnya, pandangan ateis ini semakin mewarnai gaya pendidikan sains di Indonesia. Agama jauh dari sains. Alquran tidak dianggap sebagai sumber pengetahuan. Padahal, Indonesia adalah negara yang berlandaskan Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat yang sama, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara jelas mengatur bahwa tujuan pendidikan nasional adalah membina warga negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Beberapa tema keilmuan di Indonesia, jika dikaji dengan cermat, sebenarnya menyiratkan pandangan hidup yang ateistik, yang bertentangan dengan keyakinan Islam dan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia. Misalnya, di “Kelas Fisika”, hukum kekekalan energi dan materi diajarkan.

Teori seperti itu berarti menolak keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Hal yang sama dapat ditemukan dalam pembahasan tentang asal usul biologi dalam mata kuliah biologi. Ada banyak teori tentang asal usul biologis. Ada teori biogenesis (biologi berasal dari benda mati), teori biogenesis (biologi berasal dari biologi), teori evolusi kimia (biologi berasal dari evolusi senyawa di alam), dll.

Meski berbeda secara konseptual, semua teori ini menyiratkan satu kesamaan, yaitu penolakan pencipta dan dewa yang menguasai alam. Pertanyaan berikut ini adalah bagaimana cara mendidik anak-anak Muslim mengimani Islam di kelas-kelas agama, sementara di sisi lain membuat mereka terobsesi dengan bakat mengajar di kelas sains?

Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana Tuhan menghilang dari buku-buku sains. Coba perhatikan buku-buku sains yang digunakan dari sekolah dasar hingga universitas. Tampaknya tabu untuk hanya mengungkapkan rasa syukur kepada Allah dalam buku teks ini. Padahal, betapa banyak bagian alam yang telah dianugerahkan oleh Allah!

Pada saat yang sama, seperti Harun Yahya, masuknya setidaknya Alquran dalam buku teks sains mengolok-olok kitab suci yang sesuai dengan penemuan ilmiah. Belum lama ini, seorang profesor di salah satu universitas ternama di Indonesia memprotes “Kursus 2013” yang memasukkan agama ke dalam kurikulum sains, meski dia sendiri seorang Muslim.

Terdapat banyak bagian dalam Alquran yang mengarahkan banyak orang beragama buat mencermati alam. Bagi Ratib an- Nabulsi, paling tidak 1. 300 bagian ataupun seperlima Alquran mengenai alam( The Seven Pillars of Life, Jakarta: Dengung Insani Press, tahun 2010).

Tujuannya buat memahami Tuhan serta kebesaran- Nya, alhasil terus menjadi dalam keimanannya, terus menjadi besar rasa syukurnya. Maksudnya dari perspektif Islam, merelaikan ilmu dari keagamaan Si Inventor tidak cuma salah, namun berlawanan dengan agama Islam.

Dulu, ilmuwan Muslim sering mengaitkan sains dengan agama. Perlu ditekankan bahwa perdebatan tentang hubungan antara sains dan agama tidak pernah terjadi di dunia Islam, dan baru muncul pada abad terakhir karena penetrasi pemikiran Barat yang cepat.

Prinsip Hidup Dari Seorang AtheisPrinsip Hidup Dari Seorang Atheis

Bagi ilmuwan Muslim, alam semesta adalah himne Allah. Inilah mengapa mereka sering mengungkapkan keyakinannya dalam buku-buku agama dan ilmiah. Mereka bahkan mengutip Alquran dalam karya ilmiah mereka tanpa ragu-ragu.

Misalnya, Abu Rayhan al-Biruni mendeskripsikan visi tersebut dalam bukunya “Vision”, yang memuat berbagai teori ilmu geologi. Kami melihat tanda-tanda bahwa Allah memiliki hikmah dalam penciptaannya dan dapat digunakan sebagai alat untuk mencari petunjuk dari Allah SWT.

Baca Juga : Pendidikan Agama Kristen dalam Alkitab & Dunia Pendidikan Saat Ini

Kemudian dia mengutip Fushshilat ayat 53: “Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda bahwa kami ada di semua wilayah di bumi dan kepada diri kami sendiri sampai mereka tahu bahwa Alquran itu nyata. Bukankah cukup bagi Tuhanmu untuk menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Tentu saja terlalu lama menyebutkan contoh serupa dalam tulisan ilmuwan Muslim lainnya. Ilmu semacam ini yang digabungkan dengan tauhid sekarang biasa disebut sebagai “ilmu Islam”. Menggabungkan pengajaran sains dengan agama sangatlah penting, hal itu tidak bisa dihindari. Karena alam ini diciptakan oleh Tuhan untuk membimbing orang agar lebih memahami Tuhan mereka. Tentunya semua itu harus dilakukan dengan ide-ide yang matang, bukan sekedar menempelkan kitab suci, sehingga dapat merendahkan harkat agama.

Untuk itulah saatnya mendalami sejarah perkembangan keilmuan di dunia Islam. Apalagi ini adalah kewajiban besar bagi ilmuwan Muslim saat ini.

 

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)